Sabtu, 15 November 2014

filsafat ilmu,epistemologi berfikir ilmiah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang mempunyai kelebihan berupa akal dari pada makhluk yang lain. Anugrah berupa akal yang diberikan manusia pada akhirnya diharapkan agar manusia mau menggunakannya sebagai sarana pembantu untuk menggali kahzanah tuhan dengan cara berfikir.
 Khazanah Tuhan sangatlah banyak sekali, salah satunya adalah pengetahuan. pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan manusia. Pengetahuan juga dapat dikatakan sebagai jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Dari sebuah pertanyaan, diharapkan mendapatkan jawaban yang benar.
Semakin manusia ini mau berfikir secara kritis dan kreatif, semakin banyak pula pengetahuan yang ia peroleh. Karena berfikir secara kritis dan kreatif  akan memberi makna pada keberadaan dunia. Apapun yang ia lakukan selau didasarkan atas analisa pososi dan peran keberadaannya
Pada tahapan selanjutnya, manusia dapat berfikir secara Pragmatis-fungsional yaitu suatu tahap dimana manusia pada tahap maksimal untuk mengerahkan setiap tindakan berguna bagi manusia serta untuk berguna bagi manusia. Disinilah arahan berpikir untuk menjadikan manusia sebagai manusia yang menemukan titik signifikasinya.[1]






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Basis Epistimologi
1.      Pengertian Epistemologi
Epistemologi merupakan salah satu diantara tiga hal besar yang menentukan pandangan hidup seseorang. Pandangan disini berkaitan erat dengan kebenaran, baik itu sifat dasar, sumber maupun keabsahan kebenaran tersebut. Konsep ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang ditimbulkannya dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang membentuknya. Setiap jenis pengetahuan memiliki ciri-ciri spesifik atau metode ilmiah mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistimologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan saling memiliki keterkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya.[2]
Secara Istilah epistemologo dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah theory of knowledge. Epistemologi berasal dari asal kata episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Dalam rumusan lain disebutkkan bahwa epistemology adalah cabang filsafat yang mempelajari cara memperoleh pengetahuan. Runes dalam kamusnya (1971) menjelaskan bahwa epistemology is the branch of philosophy which investigates the origin, structur, methods, and validity of knowlege. Itulah sebabnya kita sering menyebutnya dengan istilah filsafat pengetahuan karena ia membicarakan hal pengetahuan. Istilah epistemology untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F Farrier pada tahun 1854.[3]
Menurut J.F Ferrier. Secara etimologi, epistimologi berasal dari bahasa yunani “Episteme” yang berarti ilmu, dan “logos” yang berarti teori uraian atau ulasan yang dikemukakan secara sistematik. Berhubungan dengan pengertian filsafat ilmu, Lebih tepat bila “logos” diartikan sebagai “teori” . jadi epistimologi dapat diartikan sebagai teori tentang ilmu. Yang dalam bahasa inggris disebut dengan “ theory of knowledge”
Dalam Dictionary Of Philosophi, Dogobert menyebutkan bahwa asal kata “epistimologi” adalah “episteme” ditambah “logos”,”theory”. Dari kata ini dapat ditarik rumusaan epistimolagi sebagai berikut : “ epistimologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki keaslian pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu”
R.B.S Fudyartanto menjelaskan bahwa epistimologi berarrti ilmu filsafat tentang ilmu ayau dalam istilah sderhananya adalah  filsafat keilmuan. Senada dengan itu, Antun Suhono mengartikan Epistimologi sebgai teori mengnai hakekat ilu, yaitu bagian filsafat mengenai f\refleksi manusia atas kenyataan.
Harun Nasution, dalam bukunya Filafat Agama mendefinisikan epistimologi adalaah ilmu yang membahas ilmu dan cara meperolehnya, kemudian membahasnya secara mendalam (sub-stantif).[4]
Jadi bisa dikatakan Epistemologi, adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba memecahkan suatu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, serta pertanggungjawaban atas pernyataan tentang pengetahuan yang dimiliki. Apa yang diketahui oleh seseorang, berarti penting adalah tergantung atas pengalaman pribadi sendiri, ia mengetahui atas apa yang ia lihat , yang didengar, apa yang telah dibaca, dan apa yang telah diberitahukan orang lain kepadanya telah dapat disimpulkan.
Sebenarnya,  epistemologi bukanlah permasalahan pertama yang muncul dalam tradisi pemikiran manusia. Dahulu, aktifitas berfikir manusia, terutama filsafat, dimulai dari wilayah metafisika. Di antara pertanyaan-pertanyaan metafisika yang muncul waktu itu adalah: Apa itu Tuhan? Apa yang dimaksud dunia? Apa itu jiwa? Mereka mendapatkan berbagai jawaban tentang pertanyaan- pertanyaan tersebut, masing-masing saling bertentangan. Berawal dari fakta ini, mereka tidak lagi mengarah pada petanyaan pada dunia luar, tetapi mereka mengarah kepada aktifitas mengetahui itu sendiri.  Di sinilah manusia mulai masuk kedalam ranah epistemologi.[5]
Aristoteles mengawali metafisisnya dengan pernyataan “Setiap manusia dalam kodratnya ingin tahu”. Ia begitu yakin tentang hal itu sehingga dorongan untuk tahu ini bukan hanya disadari tetapi benar-benar diwujudkan dalam karyanya sendiri.
Tetapi sebelumnya Socrates telah menitikarirnya pada suatu dasar yang agak berbeda, yaitu keyakinan bahwa tak seorang pun manusia mempunyai pengetahuan. Menurut Plato, filsafat mulai dengan rasa kagum, tidak ada seorang pun yang dapat berfilsafat kalau tidak bisa kagum. Rasa kagum disini tidak boleh disamakan dengan rasa keingin tahuan dalam pengertian umum. Filsafat merupakan pembukaan mata terhadap apa yang telah dialami, filsafat terutama merupakan refleksi dan refleksi selalu bersifat kritis.Descartes memulai tahap dimana kekaguman filosofis sendirilah yang dijadikan objek penyelidikannya. Epistemologi adalah sangat diperlukan, sebuah kepastian dimungkinkan oleh suatu keraguan. Terhadap keraguan ini epistemologi merupakan suatu obatnya. Apabila epistemologi berhasil mengusir keraguan ini kita mungkin akan menemukan kepastian yang lebih pantas dianggap sebagai pengetahuan.[6]
Dalam bidang pengetahuan terdapat tiga persoalan pokok yaitu:
a)      Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita mengetahui? Ini adalah persoalan tentang ”asal” pengetahuan.
b)      Apakah watak pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar diluar fikiran kita? Ini adalah persoalan tentang: apa yang kelihatan segi reality.
c)      Apakah pengetahuan kita itu benar? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dan yang salah? Ini tentang mengkaji kebenaran.
Namun epistemologi bukan hanya berurusan pernyataan atau pertimbangan, tetapi epistemologi berurusan dengan pertanyaan tentang dasar dari pertimbangan tersebut. Nilai kebenaran pertimbangan harus diputuskan berdasarkan evidensi.[7]Banyak kepercayaan yang dianggap benar ternyata salah. Pada suatu waktu yakin bahwa bumi itu datar, bahwa setan-setan penyebab penyakit dapat dihalau keluar dengan suara yang keras dan bahwa dalam mimpi, jiwa kita benar-benar pergi ketempat dan zaman yang jauh. Ini yang pada suatu saat keprcayaan yang akan dipegang teguh.[8]
Yang melatar belakangi hadirnya pembahasan epistemologi itu adalah karena para pemikir melihat bahwa panca indra lahir manusia yang merupakan satu-satunya alat penghubung manusia dengan realitas eksternal terkadang atau senantiasa melahirkan banyak kesalahan dan kekeliruan dalam menangkap objek luar, dengan demikian, sebagian pemikir tidak menganggap valid lagi indra lahir itu dan berupaya membangun struktur pengindraan valid yang rasional.
 Namun pada sisi lain, para pemikir sendiri berbeda pendapat dalam banyak persoalan mengenai akal dan rasionalitas, dan keberadaan argumentasi akal yang saling kontradiksi dalam masalah-masalah pemikiran kemudian berefek pada kelahiran aliran Sophisme yang mengingkari validitas akal dan menolak secara mutlak segala bentuk eksistensi eksternal.
Dengan alasan itu, persoalan epistemologi sangat dipandang serius sedemikian sehingga filosof Yunani, Aristoteles, berupaya menyusun kaidah-kaidah logika sebagai aturan dalam berpikir dan berargumentasi secara benar yang sampai sekarang ini masih digunakan. Lahirnya ka1idah itu menjadi penyebab berkembangnya validitas akal dan indra lahir sedemikian sehingga untuk kedua kalinya berakibat memunculkan keraguan terhadap nilai akal dan indra lahir di Eropa, dan setelah Renaissance dan kemajuan ilmu empirik, lahir kembali kepercayaan kuat terhadap indra lahir yang berpuncak pada Positivisme. Pada era tersebut, epistemologi lantas menjadi suatu disiplin ilmu baru di Eropa yang dipelopori oleh Descartes (1596-1650) dan dikembangkan oleh filosof Leibniz (1646–1716) kemudian disempurnakan oleh John Locke di Inggris.[9]
Menurut teori pengetahuan epistemologi pengetahuan manusia ada tige macam, yaitu pengetahuan Sains, pengetahuan Filsafat, dan pengetahuan Mistik. Pengetahuan itu diperoleh manusia melalui berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat.
B.     Aliran-aliran Teori Pengetahuan
1.      Empirisme
Kata ini berasal dari kata Yunani empirikos yang berasal dari kata emperia, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman. Sebagai tokohnya adalah Thomes Hobbess, Jhon Lock, dan David Hume. Karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan dapat dirasakan manfaatnya, panndangan orang terhadap filsafat merosot. Hal ini terjadi karena filsafat tidak berguna lagi bagi kehidupan. Pada sisi lain, ilmu pengetahuan besar sekali manfaatnya bagi kehidupan.
2.      Rasionalisme
Rasionalisme dipelopori  oleh Rene Descartes (1596-1650) yang disebut bapak filsafat modern. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hokum, dan ilmu kedokteran. Ia menyatakan, bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa bandingannya, harus disusun oleh satu orang, sebagai bangunan yang berdiri sendiri menurut satau metode yang umum. Yang harus dipandang sebagai hal yang benar adalah apa yang jelas dan terpilih-pilih (clear and distinctively). Ilmu pengetahuan harus mengikuti langka ilmu pasti karena ilmu pasti dapat dijadikan model cara pengenal secara dinamis.[10]
3.      Positivisme
Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang factual dan yang positif, sehingga met afisika ditolaknya. Maksud fositif adalah segala kejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif. Tokoh alitan ini adalah August Comple (1798-1857) menurut pendapatnya, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap yaitu:
a)      Tahap teologi
b)       Tahap metalisis
c)      Tahap ilmiah atau positif.[11]
4.      Intuisionisme
Menurut Henri bergson (1859-1941), ia menganggap tidak hanya indera terbatas, akal juga terbatas. Akal hanya dapat  memahami suatu objek bila ia mengonsentrasikan dirinya pada objek itu. Akal hanya mampu memahami bagian-bagian dari objek, kemudian bagian-bagian itu digabunngkan oleh akal. Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal seperti diterangkan di atas, bergson mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Ini adslah hasil evolusi pengembangan yang tingggi. 
Landasan epistemologi ilmu, tercermin secara operasional dalam metode menyusun pengetahuannya berdasarkan:
a.       Kerangka pemimpinan yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun.
b.      Menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran
c.       Melakukan verifikasi terhadap hipotesis termasuk untuk menguji kebenaran pernyataan secara factual.
Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam. Verfikasi secara empiris berarti evaluasi secara objektif dari suatu pernyataan hipotensis terhadap kenyataan faktual. jd  Epistemologi atau teori  pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengendaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[12]
Jadi epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat yang membahas tentang bagaimana proses yang memungkinkan diperoleh pengetahuan berupa ilmu, bagaimna prosedurnya, hal-hal apa yang perlu diperhatikan agar didapat pengetahuan yang benar, apa kriterianya, cara, teknik, sarana apa yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan berupa ilmu. Begitu luasnya tentang Epistemologi, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai Epistemologi dalam pengetahuan, metode ilmiah dan pengetahuan ilmiah (ilmu) serta metode-metode apa yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
2.       Ciri-ciri Epistemologi
Ciri umum epistemologi adalah menggunakan akal dan rasio sehingga yang dimaksud metode akal disini adalah meliputi seluruh analisis rasioanl dalam koridor ilmu ilmu-ilmu husuli dan ilmu huduri, dan dari diimmensi lain, untuk menguraikan sumber kajian epistemologi dan perubahan yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan ametode analisis sejarah.

Ciri-ciri Epistemologi
a.         Bersifat sentral; posisi antara subjektif dan objektif.
b.        Landasan bagi segenap tindakan manusia dalam kehidupan sehari-hari.
c.         Dasar bagi pengembangan pemikiran ilmiah.
d.        Jembatan antara alam keharusan (das sollen) yang bersifat kejiwaan dan alam empirik (das sein) yang bersifat indrawi.[13]
C.    Berfikir Secara Ilmiah
Dari sisi harfiah, kata “Ilmiah” dalam kamus Ilmiah populer artinya adalah bersifat “keilmuan”, [14] Dari segi isi, ilmu dapat diartikan sebagai pengetahuan yang bersifat terpadu atau kumpulan dari pengetahuan-pengetahuan yang saling berkaitan dan mengikat dalam satu kesatuan kebenaran yang sahi. Sedangkan dalam segi proses, ilmu dapat diartikan sebagai kegiatan yang ditujukan untuk menemukan variabel-variabel alami yang penting dan kemudian menerangkan dan meramalkan hubungan tersebut.[15]
Secara sederhana, pengeatahuan ilmiah adalah jenis pengetahuan yang diperoleh dan dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah atau dengan  menerapkan cara kerja atau metode ilmiah.  Metode ilmiah adalah prosedur atau langkah-langkah sistematis yang perlua diambil guna memperoleh pengetahuan yang di dasarkan ataspeersepsi indrawi dan melibatkan uji coba hipotesis serta teori secara terkendali.[16]
Bisa dikatakan Sesuatu yang diketahui manusia disebut pengetahuan. Pengetahuan yang memuaskan manusia adalah pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang tidak benar adalah kekeliruan. Keliru seringkali lebih jelek dari pada tidak tahu. Pengetahuan yang keliru dijadikan tindakan/perbuatan akan menghasilkan kekeliruan, kesalahan dan malapetaka. Sasaran atau objek yang ingin diketahui adalah sesuatu yang ada, yang mungkin ada, yang pernah ada dan sesuatu yang mengadakan. Dengan demikian manusia dirangsang keingintahuannya oleh alam sekitarnya melalui indranya dan pengalamannya. Hasil gejala mengetahui adalah manusia mengetahui secara sadar bahwa dia telah mengetahui.
Pengetahuan merupakan terminologi generik yang mencakup seluruh hal yang diketahui manusia. Dengan demikian pengetahuan adalah kemampuan manusia seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pengamatan, dan intuisi yang mampu menangkap alam dan kehidupannya serta mengabstraksikannya untuk mencapai suatu tujuan.
Ada dua bentuk pengetahuan, yaitu pengetahuan yang bukan berdasarkan hasil usaha aktif manusia dan pengetahuan yang berdasarkan hasil usaha aktif manusia.pengetahuan pertama diperoleh manusia dari wahyu, pengetahuan kedua diperoleh melalui indra atau akal. Pengetahuan yang kedua inni bersumber dari pengetahuan indra, pengetahuan ilmu (sain) dan pengetahuan filsafat. Pengetahuan indra diperoleh berdasarkan pengalaman sehari-hari, seperti api panas, air  membasahi dan lain-lain. Pengetahuan ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dari penyelidikan atau penelitian yang menggunakan pendekatan ilmiah.seperti mengapa api panas dan apa saja unsur api itu.[17] 
Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:
1.      Metode Induktif
Industry yaitu suatu metode yang menyimpulkan penyatan-penyataan dari hasil obserfasi disimpulkan dalam suatu ppernyataan yang lebih umum.[18] Dan menurut suatu pandangan yang luas diterima,, ilmu-ilmu empiris ditandai oleh metologi induktif, suatu inferensi bias disebut induktif bila bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal, seperti gambaran mengenai hasil pengembangan dan penelitian orang sampai pada pernyataan-pernyataan universal.
2.       Metode Deduktif
Deduktif ialah suatu metode yang menyimppulkan bahwa data-data empiric diolah lebih lanjut dalam suatu system pernyataan yang runtut.[19] Hal  yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandinagan logis antara kesimpulam-kesilpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empisis kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.

3.      Metode positivism
Metode ini dilakukan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkaldari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia menyampaikan segala uraian/ persoalan yang di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif. Adalah segala yang tampak dan segala yang gejala. Dengan demikian metode ini dapat dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap: teologi, metafisis, dan positif. Pada tahap teologis, orang berkeyakinan bahwa dibalik segala sesuatu tersirat pernyataan kehendak khusus.
4.      Metode kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihailkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akall yang disebuat dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali.
5.      Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode Tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat.[20] Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya diskusi ligika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan  metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.
Dalam kehidupan sehari-hari  dialektika berarti kecakapan untuk melakukan pendekatan. Dalam teori pengakuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling kurang dua kutub.
Hegel menggunakan metode dialektis untuk menjelaskan filsafatnya, lebih luas dari itu, menurut Hegel dalam realitas ini berlangsung dialektika. Dan dialektika di sini berarti mengompromikan hal-hal yang berlawanan seperti:[21]
a.         Dictator, di sini manusia di atur dengan baik, tetapi mereka tidak punya kebebasan (tesis)
b.         Keadaan diatas menampilakan lawannya, yaitu Negara anarki (anti tesis) dan warga Negara mempunyai kebebasan tanpa batas, tetapi hidup dalam kekacauan.
c.         Tesis dan anti tesis ini disintesis, yaitu Negara demokrasi. Dalam bentuk ini kebebasan warga dibatasi oleh undang-undang dan hidup masyarakat tidak kacau.

Adapun disebut Pengetahuan Ilmiah atau Ilmu (Science) pada dasarnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, suatu pengetahuan sehari-hari yang dilanjutkan dengan suatu pemikiran cermat dan seksama dengan menggunakan berbagai metode. Selain itu Ilmu merupakan suatu metode berfikir secara objektif yang bertujuan untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap gejala dan fakta melalui observasi, eksperimen dan klasifikasi. Ilmu harus bersifat objektif, karena dimulai dari fakta, menyampingkan sifat kedirian, mengutamakan pemikiran logik dan netral.
Berpikir merupakan gerak akal dari satu titik ke titik yang lain. Atau bisa juga gerak akal dari pengetahuan yang satu ke pengetahuan yang lain. Pengetahuan pertama kita adalah ketidaktahuan (kita tahu bahwa kita sekarang tidak mengetahui sesuatu), sedangkan pengetahuan yang kedua adalah tahu (kemudian kita mengetahui apa yang sebelumnya tidak kita tahu). Berfikir dan pengetahuan merupakan dua hal yang menjadi ciri keutamaan manusia, tanpa pengetahuan manusia akan sulit berfikir dan tanpa berfikir pengetahuan lebih lanjut tidak mungkin dapat dicapai, oleh karena itu nampaknya berfikir dan pengetahuan mempunyai hubungan yang sifatnya siklikal
Gerak antara berfikir dan pengetahuan akan terus membesar mengingat pengetahuan pada dasarnya bersifat akumulatit, semakin banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang semakin rumit aktivitas berfikir, demikian juga semakin rumit aktivitas berfikir semakin kaya akumulasi pengetahuan. Semakin akumulatif pengetahuan manusia semakin rumit, namun semakin memungkinkan untuk melihat pola umum serta mensistimatisirnya dalam suatu kerangka tertentu, sehingga lahirlah pengetahuan ilmiah (ilmu), disamping itu terdapat pula orang-orang yang tidak hanya puas dengan mengetahui, mereka ini mencoba memikirkan hakekat dan kebenaran yang diketahuinya secara radikal dan mendalam, maka lahirlah pengetahuan filsafat, oleh karena itu berfikir dan pengetahuan dilihat dari ciri prosesnya dapat dibagi ke dalam (1) Berfikir biasa dan sederhana menghasilkan pengetahuan biasa (pengetahuan eksistensial); (2) Berfikir sistematis faktual tentang objek tertentu menghasilkan pengetahuan ilmiah (ilmu); (3) Berfikir radikal tentang hakekat sesuatu menghasilkan pengetahuan filosofis (filsafat).
Dengan kata lain berpikir merupakan gerak akal dari tidak tahu menjadi tahu.. Ilmiah bisa dikatakan sesuatu hal/penyataan yang bersifat keilmuan yang sesuai dengan hukum-hukum ilmu pengetahuan. Atau sesuatu yang dapat dipertanggung jawabkan, dengan menggunakan cara Ilmiah (Prosedur atau langkah-langkah sistematis yang perlu diambil guna memperoleh pengetahuan yang didasarkan atas uji coba hipotesis serta teori secara terkendali). Dan filsafat merupakan gerak berfikir akal secara ilmiah dengan mencari hakekat sesuatu sampai mendalam.
Dengan demikian ilmu pengetahuan sebagai hasil fikir manusia akan terus bertambah tanpa mengenal batas akhir. Permasalahan Berfikir Ilmiah sudah tentu tidak terlepas dari kajian filsafat ilmu, karena ia merupakan bagian dari pengetahuan ilmiah sedangkan filsafat dan berfikir merupakan dua bagian yang berkaitan. namun perlu di ingat,  berfilsafat pasti berpikir. Tetapi, berpikir belum tentu berfilsafat. Karena Filsafat sendiri merupakan ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam manusia dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia setelah mencapai pengetahuan. Pengetahuan berkaitan erat dengan kebenaran, apakah pengetahuan itu benar-benar benar atau tidak, untuk itu perlu dimengerti apa itu yang benar dan bagaimana manusia mengetahui kebenaran.
1.      kerangka Berfikir Ilmiah
Secara epistemologis, kegiatan berfikir ilmiah melingkupi suatu rantai berfikir logis yang merupakan pengkajian suatu yang umum (general)untuk menghasilkaan suatu yang khusus(specific) yang kita kenal dengan logika berfikir deduktif. Berfikir ilmiah terangkai secara sistematis, dalam suatu kerangka yang terdiri dari : penalaran, logika, analitis, konseptual, dan kritis.

a.      Penalaran
Penalaran berarti berfikir dengan menggunakan nalar (rasio). Diartikan pula seebagai cara berpikir yang logis, dengan  mengembangkan atau mengendalikan sesuatu dengan nalar dan bukan dengan perasaan atau pengalaman.  Penalaran dapat disimpulkan sebagai proses berfikir  dalam menarik sebuah kesimpulan `berupa pengetahuan berdasarkan logika dan bersifat analitik.[22]
Penalaran merupakan langkah pertama dalam rangkaian berpikir ilmiah. Dalam berpikir ilmiah ini alur pikir selalu di dasarkan pada proses penalaran. Penarikan kesimpulan tidak semata-mata didasarkan pada dugaan, melainkan harus di lengakapi dengan dukungan aargumen yang benar dan masuk akal (logis).
Penalaran ilmiah merupakan sintesis antara penalaran deduktif dan induktif. Karakteristik utamanya adalah:
1)      Dilakukan dengan sadar
2)      Bertujuan mencapai kebenaran ilmiah
3)      Bersifat rasional/empiris
4)      Sistematis/analisis
5)      Kesimpilaan yang dihasilkan tidak mempunyai kebenaran mutlak.
Menurut John Dewey proses penalaran itu mencakup:
1)      Mengenali dan merumuskan masalah
2)      Menyusun kerangka berpikir
3)      Perumusan hipotesis
4)      Menguji hipotesis
5)      Menaraik kesimpulan.
Adapun dalam prosesnya, bernalar dapat dibedaka menjadi dua yaitu bernalar induktif dan bernalar deduktif.
b.      Logika
 Bila penalaran lebih mengacu pada proses dan alur berpikir , maka logika lebih kepadaa produk pemikiran itu sendiri. Logika mengkaji kriteria untuk menetukan kebenaran pernyataan atau argumen. Dengan demikian, logika dihubungkan dengan proses menarik kesimpulan menurut cara tertentu, agar diperoleh suatu kesimpulan yaagn valid. Secara luas logka dapat diartikan sebagai pengkajian untuk berpikir secara shahih.
Logika merupakan asas dari penalaran itu sendiri. Dalam logika, berrpikir berarti menyusun silogise-silogisme untuk mendaapat kesimpulan yang tepat untuk menghilangkan setiap kontradiksi.
c.       Analisis
Proses berfilkir ilmiah tidak terhenti pada penampilan logika induktif dan deduktif. Untuk memperoleh suatu kesimpulan, yang kebenarannya dapat di pertanggungjawabkan kedua logika tersebut perlu di analisis. Analisis berasal dari bahasa Yunani analysein yang berarti “melonggarkan” atau “memisahkan”.  
Analisis juga diartikan sebagai proses akal untuk memecahkan masalah ke dalam bagian-bagiannya menurut metode yang konsisten untuk mencapai pengertaian atentang prinsip-prinsip tertentu. Jelasnya analisis adalah kegiatan berpikir berdasarkaan langkah-langkah tertentu. Dalam analaisis terdapat serangkaian afakata, konsep, priansip, dan prosedur yang digunnakan untuk menguraikan atau menyederhanakan hasil hasil pemikiran.[23]
Ciri-ciri pokok penalaran ilmiah adalah logis dan analitis. Logis, berarti penalaran itu dilakukan dengan pola penalaran tertentu. Pola ini bisa dengan cara induktif yang empiris atau deduktif yang rasiona. Sedangkan analitis berarti penalaran adilakukan dengan langkah-langkah tertentu. Adi rangkaian ini aterlihat lebih jelas bagaimana hubungan antara penalaran, logika, dan analisis dalam bangunan kerangka berpikir ilmiah.
d.      Konsepsional
Proses berfikir ilmiah bersifat konsepsional. Berfikir atas dasar dan mengacu kepada konsep tertentu. Pengembangan konseptiaonal yang bersifat kontemplatif kemudian disusul dengan penerapan koansep-konsep ilmiah ke masalah-masalah yang praktis. Secara etimologis, konsep diartikan sebagai 1) rancangan atau buram surat 2) ide atau pengertian yang di abstrakan dari peristiawa konkret.Sebagai pengertian abstrak konsep di dasarkan pada seperangkat konsepsi.
 Jadi dengan memahami konsep, seseorang akan terbantu untuk memahami istilah-istilah dalam bidang ilmu yang ditekuninya. Oleh karena itu, berpikir secara konsepsional menjadi begitu penting  dalam kerangka berpikir ilmiah.
e.       Kritis,
Kritis dapat di artikan sebagai 1) bersifat tidak lekas percaya. 2) bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan  dan 3) atajam dalam penganalisisan.
Berpikir kritis merupakan karakteristik dari suatu penlaran yang selalu menyelidiki, yang tidak mau menerima pengalaman-pengalaman begitu saja secara pasif-reseptif, tetapi ingin terus mencari sampai sedalam-dalamnya akar dari semua akar dari semua fenomena yang begitu beragam di alam ini. dengan berpikir kritis, para ilmuwan setidaknya akan terhindar adari ketelodoran dalam kegiatan keilmuannya.
2.      Sarana Berpikir Ilmiah 
a.      bahasa
bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang di gunakan dalam proses berpikir ilmiah di mana bahasa  merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain, baik pikiran berlandaskan deduktif atau induktif.[24]
b.      Matematika
Sebagai sarana berpikir ilmiah matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan dilakukannya pengukuran secara kuantitatif. Dengan metematika, pengambilan kesimpulan, melalui proses berpikir deduktif yang di dasarkan pada premis-premis yang  kebenarannya telah ditentukan dan disertai fakta-fakta yang logis. Dengan demikian, informasi yang disampaikan menjadi lebih jelas dan singka. Matematika mengungkapkan data secara objektif, berdasarkan apa adanya.[25]
c.       Statistika
Penggunaan analisis statistik adalah dalam upaya membantu dan memudahkan dalam menarik kesimpulan. Sebagai sarana berpikir ilmiah statistik merupakan: alat 1) untuk menghitung sampel yang  akan di ambil dari populasi, 2) untuk mengujai validitas dan reliabilitas inastrumen, 3) teknik untuk menyajikan data, sehingga data lebih komunikatif dan 4) auntuk analisis data.[26]












BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat yang membahas tentang bagaimana proses yang memungkinkan diperoleh pengetahuan berupa ilmu, bagaimna prosedurnya, hal-hal apa yang perlu diperhatikan agar didapat pengetahuan yang benar, apa kriterianya, cara, teknik, sarana apa yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan berupa ilmu.
Pengetahuan adalah kemampuan manusia seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pengamatan, dan intuisi yang mampu menangkap alam dan kehidupannya serta mengabstraksikannya untuk mencapai suatu tujuan. Pengetahuan yang diakui dan teruji kebenarannya melalui metode ilmiah disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan (sains).
Ilmu pengetahuan diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika dan statistika. Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir sehingga menjadi jembatan penghubung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak. Dengan metode ilmiah berbagai penjelasan teoritis (atau juga naluri) dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak.





DAFTAR PUSTAKA
Achmadi Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: Rajawali Press2010
Ahmad Tafsir.Filsafat Umum:akal dan hati sejak Thales sampai James.Bandung:Remaja Rosdakarya.1994
Askin Wijaya, Nalar Kritis Epistemologi Islam. Ponorogo: Komunitas Kajian Proliman, 2012
Bakhhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Erliana, Hasan. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian Ilmu Pemerintahan. Bogor: Ghalia Indonesia, 2014.
Hardono, Hadi, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan.Yogyakarta:Kanisius. 1997.
Iswahyudi. Pengantar Ilmu Filsafat.Ponorogo:STAIN Po PRESS,2011
Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.
Maulana. Ahmad dkk. Kamus Ilmiah Populer.Yogyakarta:Absolute.2011
P. Hardono Hadi,  Epistemolog Filsafat Pengetahuan .Yogyakarta: Kanisius, 1994
Rahmat, Aceng. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta:Kencana Prenada media Group, 2011.
Sedarmayanti, Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja, Bandung: Mandar Maju
Sholihin.M. Epistimologi Ilmu dalam sudut pandang Al-Ghazali. Bandung: Pustaka Setia.2001
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Sudarminta, S, Epistemologi Dasar. Yogyakarta: Kanisius 2002.
Suriasmantri, Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.Jakarta: Sinar Harapan. 2007
Susanato, A. Filsafat Ilmu Suatu Kajian Daalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis.Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2011.
Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu,  Yogyakarta:Liberty, 1996
Titus Harold H. dkk,  Persoalan-persoalan Filsafat, terj. Rasjidi. M .Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam, filosof dan filsafatnya.Jakarta:Rajagrafindo Persada.2012




[1] Iswahyudi. Pengantar Ilmu Filsafat. (Ponorogo:STAIN Po PRESS,2011),hlm 6
[2] Suriasmantri, Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.( Jakarta: Sinar Harapan. 2007)  Hlm 105
 [3] tafsir, Ahmad, Filsafat Umum:akal dan hati sejak Thales sampai James.(Bandung:Remaja Rosdakarya.1994). Hlm 21
[4] Sholihin.M. Epistimologi Ilmu dalam sudut pandang Al-Ghazali.(Bandung: Pustaka Setia.2001) hlm.33
[5] Askin Wijaya, Nalar Kritis Epistemologi Islam (Ponorogo: Komunitas Kajian Proliman, 2012), hlm. 22
[6] P. Hardono Hadi,  Epistemolog Filsafat Pengetahuan  (Yogyakarta: Kanisius, 1994),  hlm. 13-18
[7] Ibid .hlm 26
[8] Titus Harold H. dkk,  Persoalan-persoalan Filsafat, terj. Rasjidi. M ( Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 187-188
[9] Hardono, Hadi, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan( Yogyakarta:Kanisius. 1997) hlm 35
[10] Achmadi Asmoro, Filsafat Umum, (Jakarta: Rajawali Press2010) Hlm.115
[11] Ibid. Hlm 121
[12]Dw. Hamlyn, History of Epistemology, dalam Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy, 1967, hlm 9.
[13] Erliana Hasan, FIlsafat Ilmu dan Metodologi Penelitiaan Ilmu Pemerintahan.  Halm.120-121.
[14] Maulana. Ahmad dkk. Kamus Ilmiah Populer.(Yogyakarta:Absolute.2011).Hlm 159
[15] Sedarmayanti, Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja, (Bandung: Mandar Maju, 2002)
[16]  Sudarminta. Epistemologi Dasar. (Yogyakarta:Kanisius 2002). Hlm 164.
[17] Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam, filosof dan filsafatnya.(Jakarta:Rajagrafindo Persada.2012) hlm 2
[18] Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:Liberty, 1996), hlm. 109.
[19] Ibid.
[20] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm.125.
[21] Ahmad Tafsir, Filasfat Umum; Akal Dan Hati; Thales Sampai Capra, (Bandung: Remaja
[22]  Jalaluddin. Filsafat Ilmi Pengetahuan (Jakarta: Rajawali Press 2013). Halm 109
[23] Aceng Rahmat, Filsafat Ilmu Lanjutan ( Jakarta: Kenacana Prenada Media Group 2013) hlm. 4
[24]Amsal Bahtiar, Filasafat Ilmu. (Jakarta:Raja Grafindo Persada .2004) hal. 183.
[25]Jalaluddin, Filasafat Ilmu Pengetahuan (jakarta: Rahja Grafindo Persada. 2013). Hlm 128-129.
[26] Ibid. Hlm 132.